foto by harryazharazis (IG) |
Revisi UU Lalu Lintas Devisa
Harry Azhar Azis ; Ketua
Komisi XI DPR RI
Dimuat di SUARA KARYA, 10 September 2013
Regulasi devisa yang ada sekarang sudah merugikan
perekonomian nasional dan sangat mengganggu sektor riil. Tidak hanya itu, UU
Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar yang
merupakan peninggalan era International
Monetary Fund (IMF) membuat pasar valas dan pasar modal Indonesia mudah
dirontokkan.
Karena itu, Fraksi Golkar di DPR berinisiatif untuk
segera melakukan revisi mengenai Undang-Undang (UU) Lalu Lintas Devisa dan
Sistem Nilai Tukar karena dianggap cenderung liberal, bahkan paling liberal di
dunia. Draf rancangan revisi itu saat ini masih di tingkat Deputi Sekjen
Perundang-Undangan DPR, belum masuk ke Komisi XI.
Melihat situasi dan kondisi mata uang rupiah, maka saat
ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan revisi atas UU Lalin Devisa
tersebut. Pasar valuta asing (valas) kita mudah kering. Orang asing seenaknya
keluar-masuk (menyimpan dan mengambil dolar) di bank-bank nasional. Akibatnya,
ekonomi kita terguncang oleh instabilitas pasar uang dan pasar modal. Kondisi
semacam itu tidak bisa dibiarkan terus-menerus.
UU Lalu Lintas Devisa saat ini memberi kelonggaran yang
cukup luas kepada Bank Indonesia (BI) untuk mengatur lalu lintas devisa dan
valuta asing melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Namun, faktanya, PBI yang
ada belum cukup ampuh meredam gejolak rupiah belakangan ini. Tidak hanya itu,
devisa bangsa ini malah makin dinikmati oleh pihak luar karena mata uang kita
rentan terhadap guncangan.
Usulan untuk melakukan revisi itu menyusul pengalaman
di negara-negara tetangga yang berhasil mengembalikan devisanya. Misalnya,
Thailand adalah negara yang sukses memburu serta mengembalikan devisa hasil
ekspornya melalui UU Devisa yang sangat ketat.
Dalam UU Devisa di Thailand, ada kewajiban untuk
menempatkan devisa hasil ekspor (DHE) di bank lokal dalam periode tertentu atau
disebut holding period. Ini bagus supaya pasar valas kita tidak mudah dimainkan
dan stabil, dunia usaha juga menjadi tenang. Thailand terbukti berhasil menjaga
nilai tukar mata uangnya atas dolar AS saat krisis politik "kaus
merah" beberapa tahun silam.
Oleh sebab itu, Fraksi Partai Golkar beranggapan, sudah
saatnya Indonesia perlu memiliki UU Devisa yang dapat mengamankan perekonomian
nasional. Keamanan ekonomi nasional mendesak perlu dijaga agar tidak ikut masuk
"lingkaran" krisis yang melanda negara maju AS dan negara-negara
Eropa.
Saat ini Bank Indonesia memiliki PBI No.13/20/PBI/2011
dan Surat Gubernur BI No.14/3/GBI/SDM tanggal 30 Oktober 2012. Di sana
diwajibkan devisa hasil ekspor komoditas tambang serta minyak dan gas yang
diparkir di luar negeri ditarik ke dalam negeri paling lambat 90 hari setelah
tanggal pemberitahuan ekspor barang (PEB). Namun, PBI itu terbukti tidak cukup
kuat menarik dan menahan devisa hasil ekspor ke dalam negeri.
Salah satu penyebabnya, tidak ada kewajiban menaruh
devisa di dalam negeri dalam waktu tertentu (holding period), misalnya dalam waktu enam bulan. Sebab, di situ
aturannya cuma melakukan pelaporan, hingga kemudian kembali lagi ke luar
negeri. Sedangkan negara kita tidak mendapat apa-apa.
0 Komentar