Menjalani kehidupan di kampus sebagai seorang mahasiswa itu indah sekali. Mengisi usia remaja dalam komunitas intelektual yang serbateratur, damai, dan berbudi luhur.(Mahasiswa/foto:pr)
Imajinasi itu muncul di benak saya sangat kuat ketika masih belajar di pondok pesantren. Mengingat Pesantren Pabelan tempat saya belajar tidak jauh dari Yogyakarta dan Magelang, sering kali saya melihat serombongan mahasiswa mengadakan kegiatan di pesantren dan berdiskusi dengan Kiai Hamam Ja’far (alm). Juga tamu dari taruna Akabri rutin berkunjung ke pesantren.
Mereka terlihat gagah dan intelek. Yang rajin berkunjung ke pesantren adalah juga Romo Mangunwijaya (alm). Imajinasi dunia mahasiswa yang indah itu sangat menghibur, tetapi sekaligus menyakitkan karena kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinkan membiayai saya melanjutkan belajar di dunia perguruan tinggi. Sebutan UGM, UII, IAIN yang berada di Yogyakarta sudah sangat akrab di telinga saya.
Tapi, lagi-lagi, masuk dunia kampus hanyalah mimpi bagi anak kampung seperti saya yang jumlahnya jutaan di seluruh negeri. Memori yang terekam tentang dunia mahasiswa waktu itu, mereka mengenakan jaket almamater, simbol dari sebuah komunitas elite terpelajar yang tinggal di kota, yang fokus kegiatannya adalah menuntut ilmu tingkat tinggi.
Mereka bergaul dengan putra-putri terbaik yang datang dari berbagai desa dan kota Indonesia di bawah pengasuhan dosen-dosen. Di samping kuliah, mereka berkegiatan dalam bidang seni, olahraga, dan budaya. Pendeknya, bagi santri kampung yang miskin seperti saya, dunia mahasiswa itu sebuah kehidupan yang ideal dan memukau. Yang menjanjikan masa depan cemerlang.
Bukan madesu, masa depan suram, sebuah diksi yang saya dengar tahun 1967-an. Demikianlah, setamat SLTA (sekolah lanjutan tingkat atas) dengan memegang ijazah Madrasah Aliyah Al-Iman Muntilan, muncul kegalauan dan kesedihan. Dikelassejak SD sampai SLTA nilai ujian selalu peringkat teratas, tapi harus berhenti dan menganggur karena kuliah terhambat biaya, masuk dunia kerja juga tidak tertarik dan tidak ada peluang.
Lagi-lagi, pasti jumlahnya ratusan ribu remaja yang senasib dengan saya, setamat sekolah lalu menjadi penganggur. Untuk mengisi waktu dan mengurangi kegalauan, akhirnya selama dua tahun saya menyibukkan diri aktif di organisasi sosial kemasyarakatan Muhammadiyah Cabang Muntilan, terutama di lingkungan IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah) dan Pemuda Muhammadiyah.
Keluar masuk mengisi acara training dan pengajian pemuda dan pelajar Muhammadiyah yang berbaur dengan anggota PII (Pelajar Islam Indonesia). Saya rasakan dan alami secara intens kredo trifungsi utama organisasi, yaitu: tempat pelatihan kepemimpinan, pembentukan pribadi, dan alat perjuangan. Lebih dari itu adalah untuk membangun jaringan persahabatan.
Dua tahun berputar-putar di Muntilan mulai muncul kejenuhan sehingga terpikir untuk menjajal hidup ke Jakarta berspekulasi mencari pengalaman dan menaklukkan Ibu Kota. Ternyata hobiku membaca novel silat karangan Ko Ping Hoo dan petualangan heroik Nagasasra Sabuk Inten karangan SH Mintardjo cukup memengaruhi tekadku untuk berspekulasi masuk Jakarta tanpa agenda yang jelas.
Terngiang nasihat kiai, cintailah ilmu, jagalah akhlakmu, jangan malas, pasti kamu bisa hidup di mana pun kamu berada . Demikianlah, dengan mengantongi nama seorang teman yang tinggal di wilayah Salemba, saya naik bus malam ke Jakarta, tahun 1974. Setelah dua malam tinggal di rumah teman sesama aktivis Muhammadiyah dan PII sewaktu di Muntilan, saya lalu berkunjung ke rumah teman di Kompleks MABAD Rempoa, Ciputat.
Di luar perkiraan, ternyata kunjungan ke Ciputat ini mengingatkan dan membangkitkan kepedihan dan luka lama yang terpendam ketika saya melihat kampus IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta yang sekarang sudah berubah menjadi UIN. Terbayang betapa indah dunia mahasiswa.
Muncul dorongan hati yang tak terbendung untuk melangkahkan kakiku masuk kampus dan ini adalah yang pertama kali kakiku masuk zona perguruan tinggi. Ternyata ujian seleksi mahasiswa baru masuk IAIN Syarif Hidayatullah tengah dibuka. Hatiku tak tertahan untuk ikut mendaftar ikut tes seleksi, karena biayanya sangat murah, untuk tidak disebut gratis.
Singkat cerita, saya lulus seleksi, mendaftar pada Fakultas Adab, yaitu Jurusan Sastra Arab dan Sejarah Peradaban Islam. Pilihan fakultas ini semata mengikuti jejak almarhum Cak Nur (Nurcholish Madjid) yang saya kagumi. Dia alumni IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan selanjutnya mengambil program doktor di Universitas Chicago, USA. Benar-benar serasa mimpi, the dream comes true, akhirnya saya jadi mahasiswa.
Tantangan berikutnya adalah bagaimana saya hidup di Ciputat sebagai mahasiswa sambil bekerja mencari uang. Tantangan ini rupanya tidak sulit untuk ditaklukkan. Bagi seseorang mahasiswa yang aktif dan kreatif, di Jakarta banyak peluang pekerjaan yang mendatangkan uang. Asal kreatif, jujur, dan rajin, sekadar untuk membiayai hidup sendiri sambil kuliah ternyata bisa saya lalui. Dan pengalaman ini juga dialami ratusan mahasiswa lain.
Ditulis oleh:
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO, 05 Februari 2016
0 Komentar