Dalam politik, demokrasi seolah telah menjadi kata yang teramat sangat berharga. Demokrasi oleh sebagian besar ilmuwan politik dianggap sebagai sistem politik terbaik.
Oleh sebagian pengkritiknya pun, demokrasi dianggap sebagai sistem yang buruk di antara yang lain yang lebih buruk. Ujungnya, oleh mereka itu, pilihan kepada demokrasi masih merupakan sebuah keniscayaan. Tak heran, jika terutama dalam dua setengah dekade terakhir, kampanye untuk melakukan demokratisasi di negara-negara yang sering disebut sebagai negara berkembang semakin gencar dilakukan.
Dengan memanfaatkan penyakit rendah diri yang diidap oleh umumnya warga negara-negara tersebut, demokrasi mengalami gelombang pasang. Demokrasi kemudian semakin kuat diimajinasikan sebagai sebuah sistem politik yang bisa membawa pada kemajuan negara. Sebaliknya, sistem selainnya dianggap akan menyebabkan stagnasi, bahkan kemunduran.
Dalam implementasinya di Indonesia, yang paling nyata terjadi, berdasarkan fakta pada dua periode politik terakhir, demokrasi telah menyebabkan berbagai kemerosotan kualitas penyelenggaraan negara. Itu terjadi karena pemimpinpemimpin yang dihasilkan dari sistem demokrasi tidak memenuhi kualifikasi sebagai penyelenggara negara.
Terlebih di dalam sistem demokrasi yang menjadi kian liberal, dengan mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat, rakyat memilih bukan berdasarkan pada pemahaman yang cukup kepada calon yang sedang berkompetisi memperebutkan kekuasaan, melainkan hanya berdasarkan asumsi-asumsi yang dihasilkan oleh iklan-iklan yang dibuat sedemikian rupa untuk menghasilkan efekhyper reality of media.
Orang-orang yang sesungguhnya biasa-biasa saja, melalui rekayasa media, menjadi kelihatan sangat menarik. Orang-orang yang sebelumnya sangat minim kepedulian kepada urusan publik bisa “disulap” menjadi seolah-olah memiliki kepedulian yang sangat tinggi. Dengan cara rekayasa itulah, autentisitas kemudian terkuburkan.
Yang lebih sering muncul ke permukaan adalah berbagai macam kepalsuan identitas diri calon. Mereka yang sedang berebut kepercayaan rakyat, dengan biaya yang sangat besar sekalipun, melakukan berbagai macam cara dan upaya agar kelihatan indah dan meyakinkan rakyat pemilih.
Para pemilih memilih secara salah disebabkan mereka sesungguhnya tidak memiliki akses yang baik dan cukup kepada pemikiran, sikap, dan perilaku nyata para politisi dalam kehidupan keseharian. Sebagian besar mereka bahkan belum mengenal sama sekali siapa yang menjadi calon-calon yang harus dipilih dalam pemilu.
Mereka yang ingin mengetahui figur-figur calon tersebut hanya bisa mengenali mereka di atas kertas. Jika mereka menemukan deskripsi tentang figur calon-calon tersebut, juga lebih banyak deskripsi tentang figur calon yang telah didesain dengan sebaik mungkin oleh para calon dan tim kampanye mereka.
Karena itu, mereka kemudian memilih hanya berdasarkan asumsi yang lahir dari penampakan para calon, bukan dari melihat secara langsung dengan mata kepala sendiri kepribadian mereka dalam kehidupan keseharian. Medialah yang dalam hal ini lebih banyak berperan. Sedangkan penampilan di media merupakan penampilan yang telah dimanipulasi sedemikian rupa.
Untuk mendapatkan penampilan yang dianggap ideal harus mengulang-ulang proses produksi penampilan. Semua itu bisa terjadi karena sebagian media telah menjadi alat bagi politisi yang memiliki banyak uang. Jika mereka tidak membayar media yang telah ada, mereka bisa membuat media sendiri untuk melakukan sosialisasi penampilan palsu itu kepada masyarakat pemilih.
Dari sinilah kesesatan asumsi para pemilih menjadi semakin parah. Akses rakyat pemilih kepada para calon mungkin terjadi apabila antara pemilih dan para calon memiliki kesempatan untuk bertemu dalam aktivitas-aktivitas sosial kemasyarakatan. Karena itu, demokrasi sesungguhnya hanya bisa diterapkan dalam konteks negara yang tidak terlalu besar.
Jika demokrasi diterapkan dalam negara yang besar, yang muncul adalah calon-calon yang memoles diri untuk membuat kepalsuan menjadi seolah-olah asli. Masyarakat akan mengalami kesulitan besar untuk mengidentifikasi apakah figur yang muncul adalah asli atau palsu. Inilah kerumitan yang selama ini diabaikan oleh para teoritikus juga pelaku politik.
Perlu dicatat bahwa di negara yang sebesar polis-polis di Yunani, yang penduduknya hanya sekitar 60.000-an pun, banyak filsuf yang menolak demokrasi. Di antara alasan yang mereka ajukan adalah demokrasi hanya akan menjadikan para badut sebagai pemimpin politik.
Para badutlah yang lebih dikenal masyarakat. Dengan aktivitas keliling untuk menghibur masyarakat, para badut bisa lebih dikenal luas oleh masyarakat. Dengan logika bahwa mereka akan memilih yang mereka kenal, masyarakat akan lebih memilih para badut dibanding para filsuf yang sesungguhnya lebih memiliki kemampuan dalam mengelola negara.
Untuk memperbaiki perkembangan politik Indonesia yang semakin memburuk seiring dengan penerapan demokrasi yang kian liberal, sudah saatnya para pengambil kebijakan melakukan evaluasi secara mendasar .
Demokrasi yang kian liberal harus disadari tidak sesuai dengan cita-cita para pendiri negara Republik Indonesia yang telah melihat negara-bangsa Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa yang sangat besar dan memiliki tingkat keberagaman jauh lebih rumit dibandingkan negaranegara lain di seluruh kolong langit ini.
Melihat kenyataan tersebut, suara-suara yang menginginkan agar Indonesia kembali pada UUD 1945 yang asli patut dipertimbangkan. Harus ada langkah-langkah cepat sebelum Indonesia yang sangat besar ini mengalami ketertinggalan.
Baik di level nasional maupun daerah, pemilu yang kian liberal tersebut lebih banyak menghasilkan pemimpin-pemimpin yang tidak memiliki kemampuan yang bisa diandalkan untuk mengakselerasi kemajuan dan menjaga percepatannya di tengah kompetisi dengan negara-negara lain yang juga terus menambah percepatan. Wallahu alam bi alshawab.
Ditulis oleh:
Mohammad Nasih ; Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu
Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute.
0 Komentar