SULIT untuk
membantah bahwa gerakan sosial dewasa ini menunjukan gambar wajah yang sangat
sporadis dan sektarian. Terdapat sebuah fenomena yang mencengangkan bahwa
antusiasme bangunan gerakan sosial sampai saat ini belum mampu melampaui
sekat-sekat perbedaan yang ada. Kenyataannya, solidaritas sosial yang
bermunculan terkesan berserakan dan justru terpusat kepada perebutan-perebutan
kepentingan politik. Hal demikian tidak hanya ditampilkan oleh organ politik,
birokrasi, ataupun relawan kemanusiaan. Akan tetapi hal yang sama juga
terkooptasi pada organ-organ kemahasiswaan setiap merumuskan gerakan sosial.
Dalam banyak pengalaman, fragmentasi gerakan sosial
seperti ini tentu bukanlah hal yang alamiah. Secara ekplisit, tidak adanya
pijakan kolektif dalam sebuah gerakan menjadi salah satu alasan mengapa gerakan
sosial menjadi lebih fragmentatif dan fakultatif. Lebih jauh, hal ini pula yang
menjadi titik mulanya keterbatasan dari gerakan sosial ketika berhadap-hadapan
dengan sejumlah problem struktural yang sedang terjadi.
Perlu diingat, bahwa gerakan sosial bukanlah sekedar
membentuk suatu blok kepentingan kelompok tertentu dengan cara mengeksploitasi
isu-isu publik. Akan tetapi, gerakan sosial semestinya bersimplikasi pada
terbentuknya partisipasi bersama dari kelompok – kelompok motoris.
Dan tentu ini bukanlah hal yang mudah. Memicu
partisipasi kolektif sekaligus untuk menjungkalkan seluruh persoalan struktural
akan menjadi sesuatu yang sulit ketika di waktu yang bersamaan sebuah
organisasi tidak dilengkapi dengan program kerja, perangkat serta agenda-agenda
revolusioner di dalamnya. Sejalan dengan itu, ada fakta yang mendasar
bahwa denyut aktivisme yang hidup hari ini pada organ-organ kemahasiswaan pada
umumnya belum memiliki posisi yang tegas (political standing) untuk menjadi
sebuah front pembebasan terlebih menjadi corong perlawanan atas
ketertindasan-ketertindasan yang membelit rakyat selama ini.
Akibatnya, disatu sisi agenda kejuangan bersama
menjadi tersendat karena fragmentasi gerakan sosial, disisi yang lain kemiskinan,
rasisme, kekerasan, krisis ekologis, dan kapitalis-neoliberalisme yang
terstruktural menjadi semakin bercokol di dalam kehidupan masyarakat. Demikian
juga dengan privatisasi terhadap layanan publik seperti fasilitas kesehatan,
pendidikan maupun tanah milik publik yang dari hari ke hari kian dilakukan
secara massif dan terstruktur. Konsekuensi ini tentu bisadianggap sebagai hal
yang tak terpisahkan dari pergulatan gerakan sosial kini yang nyaris berkutat
penuh pada hal yang partikular serta luput atas problem-problem yang
lebihkompleks.
Untuk itu, pelampauan atas hal tersebut tentu
mensyaratkan narasi baru tentang sebuah gerakan kolektif. Dengan kata lain,
alasan- alasan yang mendesak seperti itu seharusnya menjadi titik rangsangan
dalam melakukan praktik-praktik berorganisasi, mulai dari merumuskan masalah,
menentukan prioritas masalah, hingga pada pencarian solusi. Sehingga dengan
itu, secara otomatis visi organisasi merupakan salah satu pintu awal untuk
mendefiniskan tentang gerakan tersebut.
HMI dan Tantangan Kebangsaan
Di tengah benturan-benturan sosial yang kini terjadi,
menjadi hal yang paling krusial adalah sebuah organisasi harus mampu
memodifikasi dirinya menjadi avant-garde dalam mengeksplorasi berbagai
kebuntuan yang ada. Sulit untuk membayangkan bahwa ketika organisasi justru
tampak seperti tertunduk dan oportunistik. Yang terjadi maka makna keberadaan
organisasi sebagai inisiator untuk membangun kekuatan gerakan juga ikut turut
sirna.
Begitu pula pada konteks kebangsaan, organisasi harus
terus dipaksa agar menjadi lebih adaptif dan responsif dengan persoalan yang
terus menerus hadir di dalam negara. Sekiranya, tugas ini menjadi relevan
dengan maraknya berbagai sentimen identitas yang terus merebak di Indonesia.
Dalam banyak momentum, harus diakui bahwa tajamnya perdebatan yang dilandasi
oleh sentimen identitas telah menjadi pukulan mundur bagi pembangunan
demokratisasi di Indonesia saat ini.
Realitas politik ini sendiri menjadi semacam tantangan
terhadap organ kemahasiswaan untuk segera bisa mengambil posisi yang tegas
dalam menentukan orientasi politik organisasinya. Tidak untuk ikut menyuburkan
kekerasan maupun sentimen rasial, melainkan untuk mengimbangi atau bahkan
melawan propaganda yang sejauh ini telah dikembangkan oleh kalangan konservatif-puritan
di Indonesia. Organisasi harus mewujudkan dirinya sebagai pendukung gagasan
moderat dan pluralisme di dalam kehidupan masyarakat yang majemuk.
Sangat jelas tentunya bahwa dengan bersikap insklusif,
organisasi bisa memberikan semacam energi baru yang secara signifikan dapat
menentukan masa depan keberagaman di Indonesia. Meskipun dalam spektrum ini,
ada beberapa hal yang sebenarnya juga tak bisa diabaikan oleh organisasi
pengusung ide-ide moderasi. Bahwa sikap inklusif organisasi tentu harus selalu
berbarengan dengan ketajaman- ketajaman pandangan organisasi untuk memotret
lebih jauh tentang ketidakadilan yang terjadi di dalammasyarakat.
Berangkat dari pikiran itu, formulasi Himpunan
Mahasiswa Islam menjadi salah satu kekuatan progresif dan transformatif sejauh
ini adalah merupakan langkah yang paling relevan. HmI perlu bertansformasi
menjadi rumah gagasan bagi islam progresif untuk mewakili kelompok-kelompok
termarginalkan selama ini. HmI memiliki peran utama untuk menyelesaikan
persoalan- persoalan ketidakdilan sosial di lapangan. Praktis dengan begitu,
HmI dapat mengisi ruang-ruang kosong yang hari ini tidak terjamah oleh banyak
organ kemahasiswaan lainnya. Ruang-ruang yang selama ini diisi dengan pelbagai
diskriminasi dan intoleransi oleh kelompok tertentu.
Sumber: Terasmaluku.com
0 Komentar