Altair |
Pada
suatu hari, ketika semua planet sibuk dengan garis edarnya masing-masing dalam
suatu galaksi yang kian lama semakin tua, muncul bintang baru yang masih kecil
bahkan sinarnya saja nyaris tak cukup untuk membuat dirinya dijuluki sebagai
bintang. Tak seperti Matahari yang menjadi pusat tata surya bagi beberapa planet
yang kita kenal saat ini seperti
Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus.
Bintang ini lahir, karena hubungan Bumi, Sang Ibu Pertiwi dan Bulan yang dulu pernah bersatu. Bintang ini
merupakan bintang yang kesebelas hasil hubungan mereka. Mereka menamai bintang
ini Altair. Walaupun masih muda dan sinarnya tak begitu terang, Altair suka
berpetualang kesana kemari—antar planet—untuk mengumpulkan cahaya agar dirinya
bisa diakui dan tentunya untuk menambah pengalaman.
Beberapa
tahun berlalu, Sang Altair kini menjadi lebih berani dan lebih bersinar.
Dukungan sang Bumi dan Bulan juga sangat besar. Sosok mereka yang selalu
bersatu, berdampingan dan setia mendidik para bintang tak perlu diragukan lagi.
Hal ini terbukti dengan berhasilnya kakak-kakak Altair yang sudah bisa menjadi
bintang bagi planet-planet lain, setidaknya
bisa menjadi bintang bagi Bumi, Sang Ibu Pertiwi.
Masa
muda Altair sangat gembira dan penuh warna karena dukungan kedua orang tua
serta semangatnya untuk bisa menjadi seperti kakak-kakaknya. Namun, hal
tersebut tak berjalan lama, karena Sang Bulan berpisah dengan Sang Ibu Pertiwi
disaat Altair baru merasakan nikmatnya masa muda.
Karena
hukum dan aturan dari Pemerintah Bima Sakti, Bumi dan Bulan terpaksa berpisah
oleh jarak yang sangat jauh. Resah, marah, sedih itulah yang dirasakan oleh
Altair. Kehilangan sosok ayah yang biasanya selalu menemani dan menjadi tempat
berlabuh ketika ia lelah berpetualang. Kesedihan Altair tak hanya sampai
disitu. Perasaannya semakin tidak karuan ketika Sang Ibu yang sekarang menjadi
pelabuhan dalam melepas rindu, mengatakan bahwa ingin sekali menyusul Sang
Ayah.
Awan
gelap yang ditimbulkan oleh perpisahan Bumi dan Bulan, membuat sinar para
bintang tak nampak, begitu pula Altair. Sedih, terpuruk dalam alunan melodi
semesta yang kian menambah rasa rindu akan Sang Ayah. Karena apabila ada Bulan,
maka para Bintang pun akan memunculkan sinarnya dengan lebih terang.
Hidup
harus terus berjalan, Altair dan para saudaranya membuat kesepakatan siapa yang
akan menjaga Bumi. Para kakak yang telah memiliki pekerjaan untuk menyinari dan
bersinar di beberapa planet tak bisa lagi menjaga Bumi.
Akhirnya
dicapai kesepakatan bahwa Altair yang harus bersama Sang Ibu Pertiwi. Kakak
yang ingin menjaga Sang Bumi, terkendala oleh tuntutan pekerjaan. Ya bisa lah,
sesekali mereka sempatkan waktu untuk kembali.
Walaupun
demikian, Altair tetap berusaha menjadi yang terbaik setidaknya bagi Sang Bumi.
Segala cara telah ia lalui, banyak rasa telah ia cicip. Berbekal pengalaman
semasa muda yang senang bertualang dan mencoba hal baru, apapun ia lakukan
selama itu baik dan dapat digunakan untuk
menyambung hidup dan mengumpulkan sinar lebih terang.
Setelah
banyak malam Altair lalui dengan perasaan yang sangat tidak nyaman dan awan
gelap tak kunjung hilang dari pandangan, akhirnya ada satu malam di mana Sang
Bulan menampakkan sosoknya dan membuat awan gelap tadi menghilang.
Sang
Bumi pun turut senang. Walaupun tidak lagi bersama, setidaknya masih bisa
memandang walau dari jauh. Altair sangat senang. Ketika sosok Bulan yang
menemaninya sejak dulu, muncul kembali. Ia pun ikut bersinar terang ketika Sang
Bulan menampakkan sosoknya.
Keesokan
malamnya, ia ingin bersinar lagi. Tetapi, awan gelap kembali muncul. Altair
kembali murung. Mempertanyakan kabar Sang Bulan, di mana beliau sekarang?
Kenapa tak datang lagi? Kenapa hanya singkat sekali, hanya satu malam setelah
ia lewati 29 hari dengan malam berawan kabut kelam?
Akhirnya,
ia memutuskan untuk meninggalkan Bumi. Ia ingin mencari pengalaman dan
pengetahuan sebanyak-banyaknya agar dapat bersinar terang setiap hari tanpa
bantuan Sang Bulan. Penuh pertimbangan, sebelum akhirnya ia berani
mengungkapkan maksud hatinya pada Sang Ibu Pertiwi. Berharap semua dapat
berjalan sesuai yang ia maksud.
Dini
hari, ketika Bumi dalam keadaan tenang dan sedang luang dari yang namanya
pekerjaan yang melelahkan, Altair memberanikan diri untuk mengatakan maksud dan
tujuannya kepada Bumi. Setelah mendeskripsikan maksud dan tujuannya, Sang Bumi
pun menyetujui hal tersebut.
Keesokan
paginya, Altair pergi dari Bumi menuju Mars. Setelah terbang cukup lama,
akhirnya ia sampai di sana. Ia langsung mencoba bersinar seperti yang ia
lakukan di Bumi. Kondisi di sana sangat berbeda dengan yang ada di Bumi, tidak ada
awan gelap yang menyesakkan dan meninggalkan pilu. Hal tersebut karena angin
yang bertiup sangat kencang sehingga menyingkirkan awan gelap yang menjadi
musuh utama sang Bintang Altair untuk bersinar.
Dari
apa yang ia lakukan di sana, membuat ia sadar dan bersyukur bahwa apa yang ia
cari saat ini bukanlah mengejar Bulan yang telah hilang. Ia harus lebih peka
terhadap lingkungan sekitar, bahwa ketika tidak ada Bulan pun ia bisa bersinar
karena bantuan Angin yang menghapus awan gelap yang menimbulkan rindu yang
berujung pilu.
Ia
pun memutuskan untuk kembali ke Bumi dan langsung mencari angin-angin yang
sejati untuk membantunya mewujudkan impiannya bersama-sama.
Ditulis
oleh:
Muhammad
Wildanul Atqiya
Kader
HMI Undip
1 Komentar
Terima kasih , suksesselalu. YAKUSA!
BalasHapus