| Foto : Gooogle/Pixabay.com |
Pada 5 Februari 2016
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memperingati hari kelahirannya yang ke-69.
Organisasi kemahasiswaan ini lahir di Yogyakarta pada 5 Februari 1947 atau 14
Rabiul Awal 1366 Hijriyah atas prakarsa Lafran Pane dan 14 mahasiswa Sekolah
Tinggi Islam (STI) yang sekarang menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).
Dalam usianya yang hampir 70 tahun, HMI telah cukup tua untuk ukuran manusia.
Apa yang menarik dari HMI kini?
Pertanyaan demikian
lazim mengemuka dari kongres ke kongres dan setiap ulang tahun HMI. Dalam
kongres di Pekanbaru, Riau, akhir 2015 lalu, misalnya, HMI sempat menjadi
sorotan media massa. Sesungguhnya, yang disorot relatif sama dari kongres ke
kongres.
Ada
"kekerasan", kongres yang molor dan bertele-tele, serta tak
terkendalinya penggembira. Mengapa kesannya HMI demikian "brutal"?
Ada apa dengan HMI sekarang? Pertanyaan seperti ini menggelayuti kader-kader
HMI dewasa ini.
Sebagai alumnus
organisasi kemahasiswaan terbesar di Indonesia, saya turut prihatin dan
mencoba mencari tahu lebih dalam, apa yang menarik dari HMI sekarang.
Terlepas dari potret pemberitaan negatifnya, hadirnya ribuan mahasiswa ke
arena kongres, bagaimanapun mencerminkan setelah hampir 70 tahun sejak
kelahirannya, 5 Februari 1947, organisasi ini masih "penuh
peminat".
Nurcholish Madjid,
ketua umum PB HMI periode 1966-1969 dan 1969-1971, pernah berujar, organisasi
HMI itu dari segi keanggotaannya mencerminkan representasi nusantara. Ia tak
hanya mencerminkan "berpusat" di Jawa, tetapi juga merata di luar
Jawa.
Mengapa potret negatif
di atas nyaris selalu terulang? Beragam jawaban adanya, tetapi muaranya tetap
kembali ke HMI sendiri. Mau instrospeksi atau tidak? Tentu saja, secara
verbal jawabnya mau.
Instrospeksi ialah
keharusan bahwa memang ada yang harus diubah, mulai substansi dan mekanisme
pengkaderan hingga hal teknis manajemen penyelenggaraan kongres yang
antisipatif terhadap para penggembira. Maka, tak hanya soal teknis dan
metodologis saja perbaikannya, juga merambah ke substansi training yang
direlevansikan dengan zaman kita.
Corak keislaman HMI
tercermin dari Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI yang dikompilasi oleh
Nurcholish Madjid, Endang Saifuddin Anshari, dan Sakib Mahmud, mengetengahkan
Islam secara substansial, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai, antara
lain, (1) Tauhid/keesaan Tuhan; (2) Universalitas Islam; (3) Islam yang
inklusif; (4) Islam yang dialogis; (5) Kemanusiaan/persaudaraan/hak asasi
manusia (HAM); (6) Islam sejalan dengan modernitas/progresivitas dan
demokrasi; (7) Islam yang tidak ekstrem (ummatan
wasathan/umat yang mampu berdiri di tengah-tengah); dan (8) Islam yang
toleran.
Intinya, HMI hendak
membawakan wajah Islam yang modern, maju, toleran, dan tidak ekstrem. Yang
dikedepankan HMI bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai substansial itu.
Bukan formalisasi syariat Islam, melainkan bagaimana menanamkan nilai atau
substansi ajaran Islam itu di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk
sebagaimana diibaratkan Nurcholish Madjid sebagai sebuah taman sari.
Dalam konteks ini, NDP
HMI masih sangat relevan sebagai basis pijak "revolusi mental" para
kader HMI. Yang diperlukan adalah perbaikan metodologi dan pengembangannya
yang selaras dengan tantangan zaman.
Ketika saya masuk HMI
pada awal dekade 1990-an, saya sadar organisasi ini "terlalu
otonom". Kecuali para alumni yang tersebar di mana-mana, organisasi ini
independen bak "anak tanpa orang tua". Independensi merupakan
pilihan organisasi ini sejak kelahirannya.
Lafran Pane, pendiri
utama HMI, sengaja mengarahkan organisasinya sebagai bagian dari perjuangan
nasional dan inklusif. Sejak awal HMI tidak memosisikan sebagai underbouw partai politik (Masjumi).
Kendatipun demikian, perjalanan HMI tidak pernah lepas dari dimensi politik.
Pada masa formatifnya,
HMI menggencarkan ikhtiar dalam mempertahankan kemerdekaan. Ini selaras
dengan tujuan HMI, yakni "mempertahankan Negara Republik Indonesia dan
mempertinggi derajat rakyat Indonesia" serta "menegakkan dan
mengembangkan ajaran agama Islam".
Para elitenya yang
bersahaja itu terlibat dalam kegiatan yang selaras dengan cita-cita
proklamasi. Dari sinilah cikal bakal otentik HMI tergambar bahwa antara
keindonesiaan dan keislaman bak dua sisi dari satu mata uang yang sama.
Dalam konteks
perjalanan kehidupan bangsa, HMI turut mewarnai sejarah. Kendati pun ia
independen, pada dekade 1950-an dan 1960-an, tak lepas dari hiruk-pikuk
politik. Ketika Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) dilancarkan Bung Karno
dengan posisi politik Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menguat, HMI sempat
menjadi sasaran tembak pembubarannya.
PKI mendesak Bung
Karno untuk membubarkan HMI. Namun, fakta sejarah menunjukkan Bung Karno
tidak membubarkan HMI. Sejarah mencatat, HMI turut ambil bagian mendukung
Orde Baru.
Organisasi HMI terus
berjalan, alumninya semakin banyak dan bergerak di berbagai bidang. Pada awal
dekade 1980-an, para elite HMI terbelah pendapat dalam menyikapi kebijakan
asas tunggal Pancasila. Pro kontra mengemuka dalam beberapa kongres hingga
kemudian sekelompok elitenya membentuk HMI Majelis Penyelamat Organisasi
(MPO).
Yang satu menerima
asas Pancasila, lainnya menolak. Sayangnya, kendatipun kini HMI dan HMI MPO
sudah sama-sama berasas Islam, dualisme itu masih bertahan. Inilah fakta dan
proses sejarah di mana keduanya punya peran dan cerita masing-masing. Namun,
di level Korps Alumni HMI (KAHMI), mereka menyatu.
Komitmen kebangsaan
dan keindonesiaan HMI diwujudkan pada beragam peran nyata dalam mengisi
kemerdekaan dengan ikut serta menjadi bagian intergral dari proses
kebangsaan. Sejak era Reformasi, peran politik alumni HMI banyak diteliti
pengamat. Mereka ada di mana-mana, termasuk dewasa ini, terdapat alumnus HMI
sebagai wakil presiden, yakni Jusuf Kalla.
Dalam hal sumber daya
politik, alumni HMI telah banyak mewarnai dinamika politik pada masa kini.
Namun perlu dicatat orientasi politik mereka heterogen. Terlepas dari makna
politik sebagai persaingan kepentingan, adanya kesamaan sebagai alumni HMI
berpotensi menjadi kekuatan konsensual dalam politik Indonesia.
Organisasi HMI masih
eksis dan berkembang hingga kini, di tengah-tengah banyaknya pilihan
mahasiswa berorganisasi. HMI punya kelebihan. Ia punya modal sejarah dan kekuatan
alumni yang heterogen.
Semoga, hari-hari ini
dan ke depan, HMI mampu memperbaiki diri dari citranya yang terkesan merosot
dari kongres ke kongres dan berperan strategis dalam pembangunan bidang
kepemudaan, kemahasiswaan, keumatan, dan kebangsaan yang lebih luas. Dirgahayu HMI! Penulis : M
Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas
Nasional
|
0 Komentar