Foto/Mohammad Nasih |
DR. MOHAMMAD NASIH, M.SI.
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu
Politik UI dan FISIP UMJ,
Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidh
al-Quran Darun Nashihah,
Ngaliyan Semarang
Di sebagian kalangan ”akar rumput” dan
sesungguhnya juga elite warga Muhammadiyah dan NU, perbedaan afiliasi
organisasi keagamaan Islam tersebut seringkali menyebabkan masalah yang kecil
atau besar bisa mengganggu dalam konteks persatuan umat Islam.
Muhammadiyah dan NU didirikan dengan niat
awal mempersatukan kekuatan untuk memperjuangkan Islam dan umat Islam secara
optimal dengan desain membangun jamaah (kelompok) dalam bentuk jamjamiyyah
(organisasi). Perjuangan besar dan berat tidak mungkin dilakukan secara
sendiri-sendiri. Perlu jamaah yang kuat yang di dalamnya terdapat banyak elemen
yang bisa melakukan sinergi.
Dalam konteks Islam sebagai titik temu
dan sumber yang sama para penganutnya yang memiliki berbagai keragaman, jamaah-jamaah
yang dibangun oleh umat Islam seharusnya mensinergikan keunggulan-keunggulan
masing-masing sehingga dihasilkan kekuatan yang jauh lebih besar yang bisa
membuat upaya-upaya perjuangan dakwah Islam menjadi lebih optimal. Namun, dalam
banyak kasus, Muhammadiyah dan NU justru menyebabkan implikasi yang
berkebalikan dengan niat tersebut.
Dengan tetap memandang bahwa Muhammadiyah
dan NU telah memberikan kontribusi positif dan berskala besar pada kehidupan
umat Islam di Indonesia (Muhammadiyah dengan lembaga pendidikan modern berupa
sekolah dan perguruan tinggi, juga rumah sakit dengan jumlah yang tidak
sedikit, dan NU dengan lembaga pendidikan tradisional berupa pesantren yang
sekarang terus dimodifikasi), harus diakui juga bahwa ada di antara warga
Muhammadiyah dan NU, yang jumlahnya tidak bisa diremehkan, yang telah menjadi
bagaikan air dengan minyak sehingga sangat sulit bersatu.
Sekali lagi, sikap tersebut disebabkan
fanatisme yang berlebihan terhadap organisasi masing-masing. Implikasi dari
sikap tersebut harus diwaspadai bisa menyebabkan prestasi kontribusi besar tadi
jika dikalkulasi dengan dampak negatif yang terjadi menjadi impas atau bahkan
dalam jangka panjang bisa menjadi minus.
Sekadar contoh, faktanya secara
kuantitas, persentase pemeluk Islam di Indonesia terus mengalami penurunan.
Mestinya, dengan keberadaan Muhammadiyah dan NU, persentase umat Islam, di
Indonesia terutama, senantiasa meningkat. Dalam banyak aspek kehidupan, terutama
ekonomi, kondisi umat Islam juga mengkhawatirkan. Idealnya, keduanya menjadi
para pihak yang ”saling memberikan makan”.
Namun, dalam kenyataan, keduanya
seringkali melakukan tindakan ”saling memakan”. Jika pun di permukaan tampak
harmonis dan baik-baik saja, belum tentu itu tidak menggambarkan sedang terjadi
sesuatu yang bisa diibaratkan dengan ”api dalam sekam”.
Seringkali itu sekadar basa-basi
sementara. Ujungujungnya, dalam ihwal yang memiliki implikasi besar kepada
umat, mereka kembali tidak bisa bersatu dan umatlah yang akan mengalami dampak
buruk. Yang terjadi adalah ibarat ”gajah bertarung, pelanduk menjadi korban.”
Secara umum penyebab warga Muhammadiyah
dan NU sulit bersatu bisa dikategorikan menjadi dua. Pertama, hal yang
berkaitan dengan kepentingan politik. Kepentingan ini bisa dalam konteks
organisasi, juga bisa dalam konteks pribadipribadi dengan mengatasnamakan
organisasi.
Inilah yang tampaknya menjadi awal mula
perseteruan antara keduanya meruncing. Muhammadiyah dan NU, juga organisasi-organisasi
Islam lain di Indonesia, pernah menjalin persatuan dalam politik pada masa awal
kemerdekaan dengan mendirikan satu partai Islam bernama Masyumi.
Dengan Masyumi sebagai rumah besar bagi
umat Islam untuk menyalurkan aspirasi politik, umat Islam bisa
mentransformasikan gagasan-gagasan politik kenegaraan dengan sumber nilai-nilai
Islam tanpa ”tedeng aling-aling”. Namun, persatuan mengagumkan itu kemudian
buyar karena NU merasa mendapatkan bagian kekuasaan yang tidak proporsional.
NU merasa diperlakukan secara tidak adil
dalam hal ini. Kedua, hal yang berkaitan dengan ibadah yang sesungguhnya masuk
dalam kategori khilafiah yang bisa dikatakan sebagai hal sepele belaka dan
tidak perlu diperpanjang lagi pembahasannya semisal seputar qunut atau tidak
qunut, salat tarawih delapan atau dua puluh rakaat, dan ihwal lain yang
diperselisihkan sebagai bidah atau tidak bidah.
Sebagian warga NU misalnya menganggap
bahwa salat subuh yang tidak ada bacaan qunut sebagai tidak sah sehingga orang
yang melakukannya dianggap tidak salat subuh. Dalam praktik kehidupan di
kalangan masyarakat bawah, hal ini ternyata menyebabkan persoalan yang
terbilang serius.
Penulis memiliki pengalaman pribadi yang
cukup menarik berkaitan dengan qunut ini. Suatu ketika penulis pulang kampung
dan menjadi imam salat subuh di musala di depan rumah yang jamaahnya adalah
keluarga penulis yang semuanya aktivis NU dan tetangga sekitar yang seluruhnya
warga NU.
Namun, penulis lupa membaca qunut.
Sedangkan para jamaah tersebut mendengar informasi bahwa setelah penulis
”keluar kampung”, penulis telah ”menjadi Muhammadiyah”. Karena itu, walaupun
mereka tidak berani protes karena tidak ada bacaan qunut, mereka kemudian
mengulangi salat subuh mereka karena anggapan bahwa salat subuh yang tidak
terdapat qunut di dalamnya adalah batal.
Karena peristiwa itu, setiap saya pulang
kampung dan menjadi imam salat subuh, ibu penulis selalu mengingatkan melalui
sebuah bisikan, persis sebelum takbiratul ihram, agar penulis jangan sampai
tidak membaca doa qunut.
Namun, karena penulis telah menganggap
biasa salat subuh dengan atau tanpa membaca qunut dan itu juga merupakan
pendapat salah satu dari empat mazhab besar yang diikuti oleh NU, qunut tidak
menjadi sesuatu yang mesti mendapatkan perhatian.
Karena itu, suatu saat, ketika ibu
penulis telah merasa bahwa penulis tidak perlu diingatkan lagi, beliau tidak
mengingatkan penulis lagi. Namun, karena tidak diingatkan itu, penulis
benar-benar lupa tidak membaca qunut.
Karena khawatir jamaah menganggap bahwa salat
subuh mereka tidak sah, pagi itu setelah salat dan berdoa sebagaimana biasanya
penulis langsung berbalik badan dan mengucap salam sebagai penanda bahwa
penulis akan menyampaikan sesuatu agar jamaah tidak melakukan aktivitas lain
terlebih dulu.
Saat itulah penulis menyampaikan bahwa
salat subuh tidak menggunakan qunut tetap sah. Penulis katakan bahwa jika
mereka nanti haji atau umrah ke Tanah Suci, baik di Masjidilharam maupun Masjid
Nabawi tidak ada salat subuh menggunakan qunut.
Jadi, kalau pandangan bahwa salat subuh
tanpa qunut adalah tidak sah tetap mereka pertahankan, setiap hari mereka akan
mengulang salat setelah salat jamaah di dua masjid yang paling banyak
dikunjungi umat Islam tersebut. Tampaknya, penjelasan penulis tersebut
benar-benar mendapatkan perhatian yang cukup baik, terlihat dari pandangan mata
mereka yang tidak seperti biasanya.
Setelah itu, penulis tidak perlu lagi
merasa khawatir yang berlebihan jika menjadi imam di musala di depan rumah
tanpa menggunakan qunut walaupun jika tidak benar-benar lupa, penulis selalu
membaca qunut dalam salat subuh bersama mereka.
Karena realitas itu, perlu ada jembatan
antara keduanya sehingga warga kedua organisasi ”gajah” tersebut bisa bertemu
untuk mendialogkan berbagai permasalahan yang bisa dan biasanya memicu
kesalahpahaman sehingga keduanya bisa benar-benar berlombalomba dalam kebaikan
(al- Baqarah: 148) sebagaimana jargon Muhammadiyah dan bersatu-padu dengan
berpegang teguh pada tali Allah (Ali Imran: 103) sebagaimana jargon NU guna
membuat satu ikatan yang kuat untuk melaksanakan dakwah amar maamar maruf nahi
munkar.
Jembatan tersebut bisa dibangun oleh
warga Muhammadiyah dan NU sendiri maupun oleh pihak lain dengan tanpa
menggunakan embel-embel Muhammadiyah maupun NU yang memiliki perspektif yang
cukup untuk mempertemukan antara keduanya dalam forumforum bersama antara warga
kedua organisasi itu.
Dari kebiasaan untuk menjalankan
aktivitas bersama-sama tersebut, diharapkan akan lahir sikap saling memahami
dan terbangun kerja sama dan sinergi. Jika mereka kepada umat beragama lain
saja bisa bertoleransi juga bisa bekerja sama, bahkan tanpa mendahuluinya
dengan upaya dakwah, sungguh sangat aneh bila dengan sesama muslim justru
saling mencurigai dan menjelekkan.
Justru yang kemudian harus dibangun
adalah membangun persatuan antara seluruh elemen umat Islam untuk mendesain
upaya-upaya dakwah yang lebih baik. Setelah upaya tersebut dijalankan dengan
optimal, barulah toleransi menjadi pilihan terakhir.
Dengan cara inilah, dakwah amar mamaruf
nahi munkar dalam segala bentuknya akan bisa dijalankan dengan lebih baik. Wallahu
‘alam bi alshawab.
Sumber : www.nasional.sindonews.com
0 Komentar